Selasa, 22 Juni 2010

Home


Hari ini terinspirasi nulis karena status teman saya di salah satu situs jejaring sosial. Dia sedang menanti detik-detik pernikahannya. She said, 'Harus seneng atau sedih ya?'. Dan setelah beberapa komen-komen dari teman-temannya terjawab, ternyata terkuak kalau dia sedih harus ninggalin orang tua. Perasaan saya langsung jadi melankolis. 

Ada perubahan besar yang terjadi ketika saya menikah. Yang mungkin juga dialami oleh semua pasangan menikah di belahan bumi ini. Saya meninggalkan orang tua saya. Dalam kasus saya, saya langsung pisah dengan orang tua saya. Tidak ada namanya Pondok Mertua Indah. Karena suami saya dan mertua sudah menyiapkan rumah mini untuk kami tinggali. Yang jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari rumah mama saya. Dan juga rumah mertua saya. 

Sejujurnya, buat saya itu sangat berat. Saya biasa hidup dengan orang tua saya sejak kecil. Apalagi setelah ayah saya meninggal, I am practically lived for my family. Secara otomatis juga, saya dan mama menjadi sangat dekat. Kita memikirkan semuanya berdua. Memikirkan keluarga kami, kehidupan kami dan semuanya. It was not easy. Totally not easy. I even couldn't imagine this before. As my entire life before I truly experienced it. Saya punya dua orang adik laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah. Saya merasa kami menjadi lebih terikat setelah ayah saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Memiliki. 

Dan ketika saya akan menikah.. yang tentu saja saya impikan seiring dengan pertumbuhan kedewasaan saya, saya dilema. Saya senang dan saya sedih. 

Saya tentu saja senang karena saya akhirnya menemukan laki-laki tempat berbagi untuk seumur hidup saya. Saya akhirnya menemukan laki-laki yang saya cintai dan mencintai saya sebegitu cukup sampai dia mau menghabiskan sisa hidupnya dengan saya. Saya senang karena saya bisa menjalankan sunnah Rasul untuk menikah.
Tapi saya juga sedih karena saya harus meninggalkan mama. Karena mama adalah single parent, buat saya lebih berat (mungkin) meninggalkannya. Saya tau saya adalah tempat berbagi untuk mama. Dan mama juga tempat berbagi untuk saya. Saya seringkali merasa, saya mendapatkan seorang lelaki untuk berbagi tetapi mama tidak lagi punya tempat berbagi. Oke, adik-adik saya sudah cukup besar untuk diajak berbagi. Tetapi tetap saja sedih rasanya. Walaupun begitu, beliau tidak pernah membahas itu secara melankonlis. Beliau menyatakan dia sedih, tetapi beliau tidak menganggap itu sebagai sesuatu penghalang buat saya untuk mengejar mimpi. Writing this reminding me that I do love her so much. She always looks strong. For me, she is my favorite woman in my life.       

Dan buat saya saat ini, my home is no longer my old home which I called most as 'Rumah Mama' recently, my home is my new home with my husband which I called most as 'Rumah' recently. 
Perubahan ini lucu buat saya. Lucu saja rasanya saya pulang ke Rumah Mama hanya untuk berkunjung, rumah yang saya tinggali selama 26 tahun. Saya tidak pernah kuliah atau sekolah atau kerja di luar kota sehingga praktis saya tinggal disitu seumur hidup saya. 

Well, this is life. Life must goes on. Saya sekarang tinggal di rumah baru saya mencoba meraih mimpi, merajut cita-cita dan membangun keluarga baru bersama suami saya. Kodrati. Alami. I have my new home as living process. Dan saya percaya walaupun mama berada jauh disana, we will always be connected in our heart. Kami akan baik-baik saja. 
Well, my new home... I am ready! :-)

2 komentar: